Koleksi Artikel dari Biasawae Community KEJAHATAN METAFISIS DAN PERMASALAHANNYA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA Dl INDONESIA Sumber : Prof. Dr. TB. Ronny Nitibaskara Diceramahkan dalam Sarasehan Metafisika Study Club, Tanggal 14 Juli 2002, Hotel Kebayoran, Jakarta Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com 1. LATAR BELAKANG Kita mengetahui bahwa kepercayaan kepada perdukunan pada umumnya dan ilmu hitam (black magic) pada khususnya yang tercakup dalam praktik ilmu gaib, atau praktek metafisis menjadi bahan studi di kalangan sarjana antropologi ataupun sosiologi. Frazer (1913) misalnya, telah menulis "The Golden Bough" sebagai kajian tentang ilmu gaib dan religi. Buku tersebut antara lain membahas bermacam-macam teknik ilmu gaib dan berbagai jenis tabu di seluruh dunia. Hutton (1948) menulis pula ilmu gaib sebagai kajian sosiologi, yang isinya antara lain menggambarkan peranan dan kedudukan dukun di berbagai tempat di dunia ini. Perhatian sarjana antropologi terhadap kehidupan dan kepercayaan terhadap dukun ilmu hitam kalangan masyarakat cukup besar, seperti pernah ditulis Pritchard (1937), yang membahas bermacammacam praktik dukun sihir pada masyarakat Zande Afrika dan Mayer (1954) yang menguraikan ciri-ciri dukun sihir pada umumnya. Sementara itu beberapa teori mengenai perdukunan juga pernah ditulis oleh Malinowski (1929) , yang mengaitkan ilmu gaib dengan agama dan ilmu pengetahuan. Sementara itu Wilson (1951) menghubungkan sihir dengan struktur sosial yang diambilnya dan studi perbandingan dua penduduk Afrika, yaitu suku Nyakyusa Tanganjika dan suku Pondo di Afrika Selatan, sedangkan Mac Farlane (1970) menghubungkan sihir dengan konflik sosial yang pada intinya tuduhan sihir dapat dianggap sebagai alat perubahan sosial. Dalam dua dekade terakhir timbul pula tulisan mengenai etnografi tentang sihir-tenung, karangan Banoja (1964); serta Roper (1967) yang menulis tentang praktik tenung dan sihir di kalangan masyarakat Eropa. 2. SIHIR, TENUNG DI INDONESIA Tulisan mengenai sihir dan tenung (witchcraft anda sorcery) khususnya di Indonesia dirasakan masih sangat kurang dan tidak memadai, lebih-lebih yang bersifat menyeluruh. Padahal ilmu sihir-tenung (witchcraft-sorcery) banyak dipraktikkan di Indonesia. Hampir di seluruh daerah mulai dan pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi , Bali Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya dan sebagainya orang mengenal sihir tenung. Namun, sangat disayangkan bahwa penelitian dalam bidang ini secara khusus dan mendalam belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perbendaharaan literatur mengenai praktik sihir-tenung di Indonesia dapat dikatakan sangat miskin. Akibatnya, seringkali pengertian sihir-tenung dicampur-adukan dengan pengertian dukun pada umumnya. Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com Sebelum buku mengenai sihir-tenung di indonesia, pernah disusun oleh C.J. Held benjudul Magie Heksenij en Tovenij (1950) yang isinya antara lain membahas dukun sihir dan suangi (Heksen en Soeangi's). Juga seorang ahil antropologi yang paling banyak menganalisis agama dan gejala ilmu gaib, yaitu J. Fnazen (1976). telah mempelajari beratus-ratus kebudayaan di seluruh dunia namun ia tidak banyak menonjolkan dan menguraikan pnaktik sihir-tenung di Indonesia secara khusus. Beberapa suku dan tempat di Indonesia ia sebutkan, seperti Dayak, Batak Karo dan kepulauan Indonesia Timur seperti Saparua dan Nusa Laut, dalam rangka menjelaskan teknik upacara ilmu gaib yang dilakukan oleh orang-orang di tempat tersebut dengan berbagai contoh-contohnya. Pada wanita Batak di Pulau Sumatera yang akan menjadi seorang ibu terdapat kebiasaan mendudukan seorang anak dipangkuannya agar dikemudian hari menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana. Sementara itu pada beberapa suku Dayak di Kalimantan, wanita yang akan melahirkan memanggil seorang dukun untuk melancarkan kelahirannya. Dukun tersebut berpura-pura menjadi ibu yang hamil dengan cara melekatkan sebuah batu yang besar pada perutnya dan diselimuti. Selanjutnya dukun tensebut melepas selimutnya seolah-olah bayinya telah dilahinkan. Usaha ini bertujuan untuk meringankan proses kelahinan seorang ibu. Di Saparua dan Nusa Laut bila seorang nelayan hendak menangkap ikan ia akan mengambil terlebih dahulu sebatang pohon yang buahnya banyak dan sering dipatuk oleh burung. Potongan dahan pohon tersebut ditempelkan pada jaring ikannya. Hal ini diyakini akan diperoleh banyak ikan pada jaring sebagaimana lebatnya buah pohon tersebut (Frazer, 1976:14-21). Teknik upacara ilmu gaib berupa imitative magic dan contaigious magic tersebut, pada hakikatnya memang dilakukan oleh setiap dukun tenung dalam rangka mempraktikkan ilmu gaib. Di kepulauan Maluku dan Irian Jaya terdapat ilmu sihir yang disebut suangi, sementara di Bali tendapat pula semacam suangi yang katanya dapat merubah dirinya menjadi binatang buas kemudian mengganggu penduduk. Makhluk yang berupa separuh binatang dan separuh manusia itu, disebut leak. Leak berasal dari orang yang memiliki kesaktian mengubah dininya menjadi binatang seperti kera, ular atau harimau. Yang paling populer adalah raksasa yang berlidah panjang. Leak dipencayai bisa menyebarkan penyakit dan guna-guna kepada orang lain. Hampir serupa dengan leak, di Sumatera Utara ditemukan Begu Ganjang yang juga ditakuti penduduk. Di Sumatera Barat, yaitu di kalangan masyarakat Minangkabau, terdapat kepercayaan terhadap puntianak yakni orang penempuan yang suka menghisap darah bayi dengan jalan menghirup ubun-ubun bayi dari jauh. Di kalangan masyarakat Minangkabau masih banyak orang yang percaya tentang adanya orang yang dapat dimintai untuk mencelakakan orang lain dengan jalan gaib, yaitu dengan menggangsing (mengantarkan racun melalui udara dan sebagainya). (Yunus, 1975:254). Sementara di Minahasa ada orang yang melakukan ilmu yang disebut Pandoti (Kalangi, 1975: 162). Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com Di pulau Timor misalnya pada orang Roti, orang Helor, dan sebagainya Suparlan (1975), mencatat adanya kepencayaan terhadap dukun. Dijelaskan bahwa jika ada malapetaka maka seorang dukun dipanggil untuk mencoba menemukan sumber dari malapetaka tersebut dan kemudian berusaha untuk menolaknya dengan menggunakan obat-obatan dan mantera yang dianggap dapat mengalahkan makhluk halus yang menyebabkannya. Di samping itu, ada juga makhluk halus yang dapat disuruh oleh para dukun sihir-tenung tertentu yang merugikan orang lain. Hanya dukun-dukunlah yang dapat dan sanggup untuk melawan kekuatan sihir-tenung yang berasal dari dukun lain. Suparlan menambahkan bahwa orang di Timor masih pergi ke dukun karena pendeta dan guru-guru agama Kristen dianggap tidak dapat rnemberikan pertolongan langsung dalam soal mengatasi malapetaka yang disebabkan oleh makhluk halus atau sihir-tenung. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa di dalam bukunya Javanese Duku (1978), Suparlan membagi dukun di dalam kategori sosial yang terwujud di dalam masyarakatnya karena keahlian dan pekerjaannya dalam hal yang khusus berhubungan dengan sihin-tenung dan pengobatan. Disimpulkan oleh Suparlan bahwa para dukun sangat dihargai dan diharapkan kehadirannya dalam masyarakat, tetapi kadangkala ditakuti dan dihindani oleh warga masyarakat. Dengan demikian, uraian di atas dapat memperjelas kedudukan dan peranan dukun yang sebenarnya, khususnya di Indonesia. Dalam batasan ini selain sebagai tenaga penyembuh dukun juga berperan sebagai orang yang dipercayai bisa mencelakakan orang lain. Sementara Lieban (1976: 88) membedakan dua jenis dukun, yaitu dukun sebagai healer (penyembuh) dan dukun sebagai sorcerer (tukang tenung). Praktek dukun sebagai sorcerer inilah yang dianggap merugikan dan menggoncangkan masyarakat. Dalam kenyataannya praktik ilmu tenung (sorcery) di Indonesisa seringkali terjadi dan menimbulkan akibat-akibat sampingan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang merugikan dan sekaligus mengancam setiap warga masyarakat lain. Reaksi sosial yang timbul terhadap praktik ilmu sihir-tenung di Indonesia. antara lain berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat, pengeroyokan, penyembunyian mayat, ataupun pembunuhãn, yang ditujukan terhadap si dukun tenung. Semua bentuk kejahatan itu diancam oleh Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda dan masih berlaku hingga kini. Adapun kepercayaan terhadap ilmu sihir-tenung khususnya, dan perdukunan pada umumnya hidup dengan subur di pedesaan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa masyarakat perkotaan Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com tidak mempercayai praktik tenung. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh banyak dukun di daerah pedalaman Banten, disebutkan bahwa banyak dan mereka yang meminta jasa pelayanan adalah pejabat dan orang kota. Gejala tersebut, tercermin banyaknya film Indonesia yang bertemakan horor dan ilmu gaib yang sering ditonton oleh orang kota, seperti Ratu Ilmu Teluh (1980), GunaGuna Isteri Muda (1980), Pembalasan Guna-Guna Isteri Muda (1981), Tumbal Iblis (1981), Mistik Leak (1982) dan lain sebagainya. Film-film tensebut dapat mempengaruhi persepsi masyanakat tenhadap gejala kepencayaan tensebut atau sebaliknya mencerminkan persepsi masyarakat. Hal ini juga beranti bahwa kepercayaan semacam itu ternyata masih merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Khususnya di Jawa sihir tenung disebut santet atau teluh (Jawa Barat). 3. KONSEP SANTET Berdasarkan kajian antropologi santet termasuk sorcery atau witchcraft dan kedua-duanya termasuk black magic (ilmu hitam). Kedua tipe ini ditentang masyarakat, tukang sihir (witchcraft) dianggap jahat 'selama-lamanya, sedangkan tukang tenung (sorcerer) berbahaya pada saatsaat tertentu saja. Menurut Mac Farlance (1970) tukang sihir dianggap semenjak lahir menjadi penjahat, sedangkan tukang tenung setelah ía menjadi dewasa. Dan sudut motivasi ada perbedaan antara witch dan sorcerer. Yang disebut pertama dianggap sebagai budak setan atau iblis, sedangkan yang kedua adalah orang yang melakukan perbuatannya, karena didorong oleh desakan tertentu seperti: dengki, iri hati, atau balas dendam yang merupakan bagian pengalaman hidup setiap orang (Marwick, 1970: 13) Witchcraft dan sorcery memang sejalan dengan penafsiran Firth (1960: 171) mengenai black magic yaitu: suatu tindakan yang sengaja merusakkan kesejahteraan orang, dengan motif pembalasan dendam dan sakit hati, yang mengakibatkan hancurnya milik orang lain, pendenitaan, sakit atau kematian. Dapat disimpulkan tujuan akhin dan kedua "ilmu" tersebut adalah sama, baik sihir atau tenung dapat mencelakakan orang lain. Sering kali tukang tenung menyadari perbuatannya, sedangkan tukang sihir karena kekuatan didalam tubuhnya tidak menyadari dirinya tukang sihir, sampai ia dituduh orang lain sebagai tukang sihir. Sarana dan alat yang dipakai ialah mantera, jimat dan simbol. Dalam hal tata cara tersebut lebih jelas Krige (1947: 9) mencoba pula membedakan sihir dan tenung dengan memfokuskan kepada pelakunya sebagai berikut: Tukang sihir biasanya wanita, bekerja di malam hari, Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com menggunakan rekan didalam prakteknya (elang, ular) dan turun temurun. Sedangkan tukang tenung umumnya pria, bekerja siang hari, menggunakan racun atau mantera didalam prakteknya, tidak turun temurun. Data-data dan kesimpulan tersebut merupakan temuan para antropolog yang meneliti dibenua Afrika dan Oceanea. Di Indonesia umumnya tidak dikenal kategori pelaku wanita atau pria sebagai tukang santet. Tersangka tukang santet adalah orang kebanyakan saja yang tidak memiliki ciri-cini khusus. Akan tetapi mereka memiliki sifat-sifat asosial yang mengakibatkan masyanakat mengasingkan si pelaku. Di lain pihak sebutan tukang santet dapat dipakai sebagai legitimasi seseorang untuk menyingkirkan orang yang tidak disukai kanena dianggap mengancam ketenteraman penduduk atau alasan terselubung lainnya. Pemberian cap terhadap tukang santet, bukan karena ia diketahui melakukan aksi santet (karena sulit dibuktikan), melainkan karena sikap permusuhannya terhadap tetangga atau kenalan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku. Sebagai gambaran di Eropa pada tahun 1490 timbul doktrin yang mencari, menemukan dan menghancurkan tukang santet dimanapun berada. Maka terjadilah perburuan tukang santet selama benabad-abad karena rasa takut terhadap santet menyebar luas. Semua orang mencoba menghubung-hubungkan tindakan atau tingkah laku yang menyimpang sebagai perbuatan santet. Sering terjadi seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet. akibat siksaan yang tidak tertahankan terpaksa mengaku sebagai tukang santet. Maka ribuan tersangka dibakar hidup-hidup, meskipun mereka tidak bersalah. Banyak orang menyalah gunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadinya dengan cara membalas dendam kepada seseorang yang ingin dilenyapkannya. Untunglah pada tahun 1951 doktrin berupa Undang-undang santet dihapuskan, setelah lebih dan tiga abad dijalankan. Di Indonesia juga ditemukan banyak kasus tersangka tukang santet dikeroyok massa, akibat fitnah belaka. 4. FUNGSI SANTET Brendt (1970) seorang antropolog yang meneliti santet di Oceanea menyatakan: sebagai seorang ilmuwan kita tidak benkepentingan dengan realitas empirik apakah santet itu benarKoleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com benar ada atau sungguh-sungguh terjadi, akan tetapi adanya kepercayaan yang dihayati oleh masyarakat setempat, merupakan tingkat realitas yang diperlukan bagi penelitian sosial. Nyatanya fakta sosial menunjukkan bahwa santet di desa-desa di Indonesia bukan saja melembaga (institusionalized) akan tetapi juga sudah mendarah daging (internalized). Nampaknya santet telah menjadi mekanisme untuk menyelesaikan sengketa antan warga. Hal ini tercermin dalam kasus-kasus sengketa diantara warga desa. Sengketa mulai dan pensoalan kecil seperti: batas pagan rumah dan sawah, kasus utang piutang, penolakan cinta dan sebagainya. Sengketa tersebut menimbulkan dendam yang berkepanjangan yang diakhinri dengan penggunaan santet untuk menindak lawan. Walaupun keampuhan dan kebenaran santet tidak pernah dapat dibuktikan namun hal itu telah menjadi bagian dalam kehidupan penduduk sehari-hari. Disisi lain santet menimbulkan reaksi sosial berupa tuduhan, gunjingan, pengucilan, penganiayaan. pengeroyokan, pembunuhan dan sebagainya terhadap si tersangka tukang santet. Mereka dituduh melakukan berbagai perbuatan seperti mengirim santet atau teluh yang merugikan orang lain. Anehnya sekalipun tukang santet terancam hidupnya, kehadiran mereka dalam masyarakat sampai batas tertentu nampaknya dibiarkan karena mempunyai fungsi tertentu. Di desa-desa yang terkenal santetnya orang sening kali takut melakukan kejahatan atau mencelakakan orang lain karena menduga jangan-jangan orang lain tadi memiliki ilmu santet yang lebih tinggi. Dengan cara mengembangkan unsur nasa takut kepada setiap pelaku penyimpangan inilah maka santet memiliki fungsi sosial kontrol. Di lain pihak santet merupakan sarana integnitas komunitas antar sesama anggota dalam hubungan saling curiga mencunigai. Dalam situasi demikian, perlu sasaran untuk mengurangi konflik antar sesama. Yang menjadi korban jelas : tukang santet sikambing hitam. Dapat disimpulkan santet mempunyai fungsi menjaga ketahanan kelompok dan menunjang keseimbangan sosial. 5. PANDANGAN KRIMINOLOGI Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku menyimpang, sebab kniminologi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal yang oleh negara atau hukum dinyatakan terlarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, sekalipun tidak diatur oleh hukum pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa masyanakat memang tidak menyukai kehadiran santet. Terbukti dengan adanya reaksi sosial yang keras Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com seperti disebutkan sebelumnya. Masyarakat memperlakukan tukang santet seperti penjahat. Hal ini sesuai dengan teori labeling dalam kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan bukanlah kualitas yang unik dan suatu tingkah laku, akan tetapi lebih ditentukan oleh reaksi masyarakat yang ditimbulkannya. Teori ini menyebutkan bahwa seseorang yang dicap sebagai penjahat, menyebabkan orangnya diperlakukan sebagai penjahat. Unsur ini dipenuhi juga oleh kasus-kasus tukang santet yang dikeroyok massa, atau ditahan di Polsek untuk diintenogasi. Hanya karena ketiadaan barang bukti sajalah menyebabkan mereka dibebaskan kembali. Jelas dari sudut kriminologi mereka bisa dikategorikan sebagai penjahat tak terhukum (unpunished criminals). Sementara fungsi kriminologi terhadap hukum pidana adalah meninjau secara kritis hukum pidana yang berlaku dan memberi rekomendasi guna perbaikan-perbaikan KUHP yang akan datang. Maka masalah legal gaps yang disebutkan oleh Prof Sutandyo bisa diatasi oleh penan kriminologi. Menurut Prof. Sudanto almarhum, kniminologi dapat menyediakan bahan-bahan untuk politik kniminal maupun politik hukum dan policy maker yang bijak tidak boleh mengabaikannya. Mengabaikan hasil penelitian dan kriminologi membawa resiko terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional bahkan mungkin undang-undang yang disfungsional. Hal ini memang sudah terbukti . lebih dan 15 tahun yang lalu saya mengusulkan kriminalisasi santet berdasarkan hasil penelitian yang menggambarkan santet meresahkan masyanakat. (Baca Pendekatan Kriminologi tenhadap masalah guna-guna: Kompas tahun 1974). Sementara itu kriminalisasi mengandung juga pengertian aktualisasi pasal-pasal KUHP yang ada. Nyatanya pasal-pasal yang mengatur pnaktek ilmu gaib mengalami kemandulan. Konon pasal 545 melarang seseorang berprofesi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi. Nyatanya praktek tukang ramal bertebaran dimana-mana seara tertutup ataupun terbuka. Di pasar dan dipusat keramaian lainnya banyak praktek dukun ramal menggunakan burung gelatik atau meramal kode buntut. Dilapisan atas banyak pengusaha pejabat rajin mendatangi peramal kartu menanyakan nasibnya. Belum lagi ramalan berupa astrologi, palmistri, grafologi yang terdapat dalam mass media. Kesemuanya ini dibiarkan sehingga undang-undang menjadi disfungsional. Pasal 546 melarang penjualan benda-benda gaib. Nyatanya sejak lama benda-benda gaib tertentu mulai dan keris, batu mirah delima, batu anti tembak, keong buntet, rotan nunggal. wesi kuning ramai dicari dan diperjual belikan dengan harga yang tinggi. Pasal 547 melarang seseonang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan dengan menggunakan jimat dan Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft Ó 2005 biasawae.com mantra. Bagaimana mungkin melacak jimat (bentuknya bermacam-macam) dan mantra? Apakah tenlarang bagi seorang tendakwa berkomat kamit mulutnya disidang pengadilan membaca doa guna meningankan hukumannya? Menurut hemat saya pasal-pasal tersebut tidak mengatur perilaku santet. Harus ada dekriminalisasi atau penghapusan pasal-pasal ilmu gaib. Biarlah orang meramal, jual bell benda gaib dan sebagainya, toh secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya harus tetap ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial yang ditimbulkan merupakan faktor potensional kriminogen yang cukup besar. Keresahan masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama merupakan produk sampingan yang ditimbulkannya. Saya tidak menyarankan penyusunan delik santet yang mengacu kepada perumusan yang bersifat materiil karena adanya kendala pembuktian. Yang dipidana bukanlah hakekat penganiayaan atau pembunuhan terselubung yang dilakukan oleh tukang santet, melainkan perbuatan-perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban umum.